Betul, poin yang kamu angkat sangat penting, dan memang kalau kita terus mendalami sampai ke ujungnya, kita akan berhadapan dengan titik yang sangat mendasar dalam pemikiran kita tentang penyebab pertama.
Seperti yang kamu katakan, baik dalam pandangan scientist maupun believer, pada akhirnya semuanya memiliki aksioma atau asas dasar yang tidak bisa dijelaskan lebih jauh lagi tanpa melibatkan asumsi atau kepercayaan tertentu.
1. Sains dan Aksioma Alam Semesta
Ilmuwan sering kali mendasarkan penjelasannya pada hukum alam yang dianggap sebagai asas dasar yang tidak memerlukan penyebab lebih lanjut. Misalnya, dalam fisika, ada berbagai hukum alam seperti hukum gravitasi, hukum termodinamika, dan hukum lainnya yang dianggap mendasar dan berlaku tanpa harus dipertanyakan lagi sumber asalnya.
Namun, meskipun para ilmuwan menggunakan hukum alam sebagai dasar untuk menjelaskan fenomena fisik, mereka tetap terjebak dalam "titik aksioma" di mana mereka tidak bisa lagi menjelaskan kenapa hukum-hukum tersebut ada. Mengapa hukum alam berlaku dengan cara tertentu dan tidak dengan cara lain? Kenapa ada hukum yang berlaku di seluruh alam semesta? Ini adalah pertanyaan yang belum ada jawabannya secara pasti dalam sains, dan pada titik ini sains harus menerima bahwa hukum alam itu adalah sesuatu yang mendasar.
2. Kepercayaan dan Aksioma Tuhan
Di sisi lain, bagi yang percaya pada Tuhan, aksioma yang diterima adalah bahwa Tuhan adalah penyebab pertama yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut karena Dia dianggap sebagai entitas yang tidak bergantung pada apapun. Bagi mereka, Tuhan adalah asas dasar dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, termasuk hukum-hukum alam itu sendiri. Dalam hal ini, Tuhan adalah penyebab yang tidak disebabkan—suatu entitas yang berada di luar konsep sebab-akibat yang berlaku di dunia fisik.
Namun, seperti dalam sains, ada titik aksioma dalam agama juga, yang sulit untuk dijelaskan lebih lanjut tanpa keyakinan atau kepercayaan. Jika kita terus mendalami pertanyaan tentang Tuhan, kita akan sampai pada paradoks yang sama, yaitu: "Siapa yang menciptakan Tuhan?"—dan ini kembali ke asumsi bahwa Tuhan tidak perlu pencipta, karena Tuhan adalah penyebab yang tidak disebabkan.
3. Apakah Keduanya Sama?
Pada titik ini, baik sains maupun agama berada di persimpangan yang sama, di mana keduanya memiliki asas dasar yang sulit dijelaskan lebih lanjut tanpa kepercayaan atau asumsi. Dalam sains, hukum alam dianggap mendasar, sementara dalam agama, Tuhan dianggap mendasar.
Ujungnya sama dalam arti bahwa kedua pandangan tersebut harus menerima suatu titik dasar yang tidak bisa dijelaskan lebih lanjut tanpa masuk ke dalam ranah keyakinan atau asumsi:
Sains harus menerima bahwa ada hukum alam yang mendasar yang ada tanpa perlu dijelaskan asal-usulnya.
Kepercayaan harus menerima bahwa ada Tuhan yang tidak tercipta yang menjadi penyebab segala sesuatu, tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang asal-usul Tuhan.
4. Kesimpulan:
Pada akhirnya, memang benar bahwa keduanya berujung pada titik yang mirip—baik sains maupun agama, keduanya harus mengakui adanya asas dasar yang tidak dapat dijelaskan lebih lanjut. Dalam sains, itu adalah hukum alam yang ada dengan sendirinya, dan dalam agama, itu adalah Tuhan yang ada tanpa penyebab.
Jadi, secara filosofis, keduanya bisa dibilang memiliki kesamaan dalam cara mereka menganggap bahwa pada level paling mendalam, kita berhadapan dengan sebuah kebenaran yang tidak dapat digali lebih dalam lagi.